:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4134468/original/062773800_1661335557-Makam-Mahligai-Barus-sumutprov.go.id_3.jpg)
Liputan6.com, Jakarta – Belakangan, istilah Syiah kerap diperbincangkan seturut perang Iran Israel. Diketahui, Iran merupakan negara Islam dengan penduduk mayoritas penganut Syiah.
Syiah bukan sekadar aliran dalam agama Islam, ada pula yang berpendapat berdiri sendiri sebagai sebuah agama yang mandiri. Pandangan ini patut dicermati karena dalam Syiahpun terdapat aliran yang aqidahnya serupa dengan Islam, namun ada pula yang justru berlawanan dalam prinsip aqidah islamiyah.
Jejak riwayat Syiah begitu panjang, bahkan hingga zaman Khulafaur Rasyidin. Kelahiran aliran Syiah tak lepas dari kondisi politik seusai wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Syiah memuja Ali bin Abi Thalib _sepupu, menantu, sekaligus salah satu sahabat terbaik Nabi SAW_. Penganut Syiah menganggap Ali bin Abi Thalib lebih pantas memimpin umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Dalam Syiah sendiri, terdapat berbagai fraksi atau aliran yang antara satu dengan lainnya bertolak belakang. Terlepas dari itu, Syiah menyebar ke seluruh penjuru dunia, bahkan sejak zaman para Thabiin, atau abad 6-7 Masehi, termasuk ke Indonesia.
Di Indonesia, Syiah menjadi aliran minoritas yang pada akhirnya kerapkali tereksklusi. Di beberapa wilayah, penganut Syiah bahkan dimusuhi.
A Muchlison Rochmat dalam ulasannya di NU Online, menjelaskan, pada tahun 2016, Balitbang Diklat Kemenag melakukan kajian dan penelitian soal Syiah di Indonesia. Penelitian dilakukan di 22 daerah. “Di antara instrumen variabel yang dibahas dalam penelitian ini adalah terkait dengan perkembangan Syiah di Indonesia,” tulisnya, dikutip Jumat (27/6/2025).
Simak Video Pilihan Ini:
Teratak dalam Acara Haul KH Abdul Ghoni di Ponpes Al Hikmah 1 Sirampog Brebes Ambruk
Kedatangan Syiah hingga Revolusi Iran 1979
… Selengkapnya
Menurut dia, ada tiga gelombang perkembangan mazhab Syiah di Indonesia. Pertama, perkembangan Syiah di Indonesia. Syiah masuk ke Indonesia dimulai sejak awal masuknya Islam di Nusantara, tepatnya di Aceh.
Kesultanan Peurleak adalah kerajaan mazhab Syiah pada abad ke-8 M. Bahkan, Putri Sultan Peurleak terakhir di abad 13 dinikahkan dengan raja pertama Kerajaan Samudra Pasai. “Dari sini, Syiah mulai berkembang ke seluruh Indonesia,” dia menjelaskan.
Kedua, Revolusi Islam Iran. Perkembangan mazhab Syiah menemukan momentumnya ketika terjadi Revolusi Islam Iran tahun 1979. Di mana pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini berhasil menggulingkan Rajadiraja Shah Mohammad Reza Pahlevi dan membangun Iran menjadi Republik Islam. Hal ini menarik simpati kalangan aktivis muda dan mahasiswa Muslim di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Setelah revolusi itu, buku-buku yang berkaitan dengan revolusi, sejarah Syiah, akidah Syiah, dan fikih mazhab Syiah membanjiri Indonesia dan dibaca dengan penuh minat. Di samping itu, komunitas Syiah juga mulai mendirikan lembaga-lembaga penerbitan, yayasan, lembaga pendidikan, kerja sama internasional.
Dari sinilah mazhab Syiah semakin dikenal dan mulai banyak yang ikut ke mazhab Syiah secara terbuka, tidak lagi sembunyi-sembunyi. Ketiga, berdirinya ormas keagamaan Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan ormas Ahlulbait Indonesia (ABI).
Keduanya aktif melakukan sosialisasi ajaran-ajaran mazhab Syiah. Sehingga masyarakat muslim Indonesia lebih tahu tentang fikih Ja’fari, kemudian mengenalnya dan sebagiannya berkonversi menjadi Syiah.
Perkembangan dan Tuduhan kepada Syiah
… Selengkapnya
Jumlah pengikut mazhab Syiah ini diperkirakan sekitar 200 ribu orang, tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Meski demikian, Badan Inteljen Negara (BIN) dan Mabes Polri menyatakan bahwa pengikut mazhab Syiah di Indonesia sekitar 6-7 juta, jauh dari yang diperkirakan semula.
Namun, sampai saat ini belum ada jumlah yang valid soal pengikut mazhab Syiah ini. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi pendorong dari perkembangan Syiah di Indonesia?
Setidaknya ada dua hal yang menjadi pendorong perkembangan Syiah di Indonesia sesuai dengan hasil penelitian tersebut.
Pertama, Revolusi Islam Iran tahun 1979. Bagi seorang muslim muda aktivis—terutama dari HMI, PII, dan PMII, Revolusi Iran adalah sebuah peristiwa yang sangat heroik. Oleh karea itu, mereka melakukan kajian-kajian mazhab Syiah di perguruan tinggi dan sebagian berkonversi ke mazhab Syiah.
Kedua, tuduhan terhadap Syiah. Ada banyak tuduhan yang dialamatkan kepada komunitas Syiah seperti rukun iman dan rukun Islamnya berbeda, syahadatnya berbeda dengan umat Islam umumnya, orang Syiah tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai khalifah karena dianggap merebut hak khalifah Ali. Kaum Syiah menghujat para sahabat besar, kaum Syiah mengkafirkan para sahabat, membenci dan melaknat istri Nabi Muhammad atau Aisyah.
Tuduhan lainnya menghalalkan nikah mut’ah sama dengan legalisasi pelacuran, taqiyah sama dengan kemunafikan, adanya tahrif 19 dalam Al-Qur’an, memiliki kitab suci Al-Qur’an mushaf Fatimah ayatnya 17.000 ayat, orang Syiah tidak melaksanakan sholat Jumat, sholatnya tiga waktu, wahyu mestinya turun kepada Ali karena Jibril berkhianat sehingga wahyu jatuh kepada Nabi, Syiah menuhankan Ali, Syiah adalah karya Abdullah bin Saba’, nikah mut’ah boleh dengan anak kecil, menyebutkan Husein lebih besar dari Tuhan.
Namun demikian, tuduhan-tuduhan itu tidak dapat dibuktikan dan komunitas tidak mengakui pemahamannya tidak seperti apa yang dituduhkan itu.
Akar Historis Sama, Kenapa Syiah – Sunni Berkonflik ?
… Selengkapnya
Konflik antara Sunni dan Syiah seolah terus berkepanjangan, padahal secara historis dan kultural keduanya mempunyai kedekatan. Munculnya konflik antara dua aliran ini dimulai dari jalur politik.
Demikian disampaikan sejarawan Islam Nusantara, Agus Sunyoto, ketika menyampaikan tentang pengaruh Syiah Zaidiyah dalam proses Islamisasi Nusantara di hadapan mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta Kelas Ciganjur, Jumat (28/11).
“Sunni dengan Syiah tidak praktis hitam putih begitu itu. Sekarang aja ketika muncul Syiah politik macam-macam itu kan, sekarang baru terjadi (gesekan), dulu tidak begitu,” tegas Dosen Arkeologi STAINU Jakarta ini, dikutip dari NU Online.
Lebih lanjut Agus mengisahkan tentang diskusinya dengan orang Syiah yang memberikan penilaian negatif kepada Abu Bakar. Saat itu Agus langsung bertanya kepada orang Syiah itu tentang sosok Imam Ja`far Shadiq. Dijelaskan bahwa Imam Ja`far Shadiq adalah keturunan dari Imam Ali, dari Imam Zainal Abidin dan seterusnya.
“Kamu tahu nggak ibunya Imam Ja`far Shadiq itu sopo? Nggak tahu dia. Saya beri tahu ibunya Ja`far itu, Shafah itu cucunya Abu Bakar, nah dalam tulisannya Ja`far Shadiq itu kamu akan baca bagaimana Ja`far itu memuji-muji kakeknya yang bernama Abu Bakar karena itu Imam Ja`far diberi gelar ‘Shadiq’. Kenapa? Perilakunya persis kakeknya Abu Bakar Asshidiq, maka dia disebut Ja`far Shadiq, namanya Ja`far aja nggak pake Shadiq, artinya kalau Imam Ja`far tahu kamu menghujat Abu Bakar Ashidiq, wah kamu bisa ditempelengi Ja`far Shadiq karena menghina kakeknya, dia memuji-muji kamu malah mencela dia,” papar penulis buku Atlas Wali Songo itu.
Agus pun menyesalkan perilaku orang-orang Syiah yang banyak mencela dan menghina Abu Bakar, padahal Imamnya sendiri, Imam Ja`far Shadiq adalah keturunan Abu Bakar dari pihak Ibu, bahkan Imam Ja`far Shadiq sangat menghormati dan memuji-muji Abu Bakar namun sayangnya para penganut Syiah justru banyak yang mencela, seolah-olah menghilangkan hubungan dekat dengan empat sahabat Nabi (khulafaurrasyidin). Sebaliknya, lanjut Agus, orang-orang yang anti Syiah juga berlebihan karena mereka mengatakan, “Awas hati-hati paham Ja`fari sudah berkembang di Indonesia, itu paham Syiah, paham sesat.”
Statemen ini, menurutnya, cukup ironis karena Imam Ja`far Shadiq adalah guru dari imam mazhab fiqh, yakni Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. “Kalau kamu meyakini bahwa paham yang dibangun oleh Imam Ja`far Shadiq itu sesat, ya kamu harus memberikan kesimpulan juga berarti kalau Ja`far Shadiq sesat, mazhab Ja`fari sesat, murid-muridnya pasti sesat juga. Imam Ja`far itu punya murid Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, itu berarti dua orang itu sesat juga, berani nggak kamu mengatakan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah sesat, nah Imam Maliki itu punya murid, Imam Syafi`i, apa sesat juga?” ujarnya.
Untuk itu, Agus mengimbau, dalam meneliti sejarah hendaknya melepaskan aspek-aspek emosional seperti kebencian atau kecintaan, karena jika salah satu dari dua aspek ini hadir dalam diri seorang peneliti maka hasilnya tidak akan objektif.